Senin, 02 Januari 2017

review buku pembuktian sains dalam sunah

REVIEW BUKU
PEMBUKTIAN SAINS DALAM SUNAH
Diajukan untuk memenuhi tugas mandiri
Mata Kuliah : Keterpaduan Islam dan IPTEK
Dosen Pengampu : Edy Chandra,






Disusun oleh :
Nama    : Siti Azizah
NIM     : 1413162042
Kelas : Bio-C/VII

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN JURUSAN IPA BIOLOGI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SYEKH NURJATI CIREBON
2016
PENYUSUN REVIEW BUKU

Nama              : SITI AZIZAH
NIM                :1413162042
Jurusan            : Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Prodi               : TADRIS IPA Biologi
Semester          : VII


KETERANGAN SUMBER BUKU

Judul               : Pembuktian Sains dalam Sunah
Penulis             : Dr. Zaghlul An-Najjar
Editor              : Tim Redaksi Pustaka Hidayah
Cetakan           : 2007
Tebal buku       : 260 hlm






































BAB I : PENDAHULUAN
A.    Pendahuluan
Risalah-risalah langit adalah petunjuk Allah Swt bagi manusia dari berbagai permasalahan dimana manusia tidak mungkin membuat konsep dan prinsip yang benar dalam menghadapi permasalahan tersebut karena sudah masuk dalam area metafisis mutlak yang tidak mungkin dapat dicapai oleh manusia kecuali harus dengan wahyu dari langit. Atau karena permasalahan tersebut sudah masuk dalam area rambu-rambu perilaku yang selamanya tidak akan dapat dibuat sendiri oleh manusia secara benar. Misalnya, persoalan-persoalan akidah (metafisis mutlak), ibadah (perintah Ilahiah mutlak), akhlak dan mu’amalah (rambu-rambu perilaku). Dan semua ini merupakan persoalan-persoalan yang jika digeluti oleh manusia tanpa hidayah Tuhan yang murni, maka ia akan tersesat jauh.
Jika kita amati persoalan-persoalan ini di dalam Kitab Allah dan Sunah Rasul-Nya, maka jelas sekali disana bahwa Alquran tidak mungkin merupakan hasil karya manusia, akan tetapi Alquran adalah firman Allah Yang Maha Pencipta. Adapun nabi serta rasul terakhir (Nabi Muhammad SAW) yang menerima Alquran tersebut merupakan orang yang tersambung dengan wahyu dan diberi pelajaran oleh Sang Maha Pencipta langit dan bumi.
Inilah buku yang menurut saya, diharapkan bakal membangkitkan minat lebih jauh terhadap berbagai persoalan-persoalan dalam kehidupan. Dari penjelasan pendahuluan tentang persoalan kehidupan yang terdapat solusinya dalam Alquran yang penulis paparkan, penulis tertarik untuk mengetahui bagaimana pembuktian sains dalam sunah itu? Dengan harapan kita bisa mendapatkan pengetahuan serta menambah keimanan kita terhadap Allah Swt.

B.     Rumusan Masalah
1.      Menjelaskan tentang apa saja kandungan buku “zikir dan kontemplasi dalam Tasawuf”?
2.      Apa yang di garisbesarkan penulis pada buku “zikir dan kontemplasi dalam Tasawuf”?
3.      Apa kelebihan dan kekurangan dari segi penulisan dan penggambaran buku “zikir dan kontemplasi dalam Tasawuf”?

BAB II : ISI BUKU
            “Zikir dan kontemplasi dalam tasawuf”. Buku karangan Dr. Mir Valiuddin ini memiliki 8 bab diantaranya Penyucian jiwa, membersihkan hati, zikir dan doa, berbagai metode zikir, berbagai metode zikir tarekat chisytiyyah, mengosongkan sirr, mengosongkan sirr 2, pencerahan ruh. Dibawah ini akan dijelaskan inti dari bab yang sudah disebutkan.
Penyucian Jiwa
Dalam bab ini dijelaskan cara-cara penyucian jiwa. Penyucian jiwa berarti menghiasi diri dengan sifat-sifat terpuji, sesudah membersihkannya dari sifat-sifat tercela dan hewaninya. Cara membersihkannya diantaranya penyucian kalbu. Yang dimaksud dengan menyucikan kalbu ialah menghapus darinya kecintaan pada dunia fana ini, kekhawatirannya atas berbagai macam kesedihan dan kedukaan, kecenderungannya pada hal-hal duniawi serta segenap pikiran muluk-muluknya yang sia-sia. Kemudian adalah pengosongan sirr, ini berarti mengosongkan sirr dari segala macam pikiran yang bakal menyimpangkannya dari ingat kepada Allah atau zikir. Dan pencerahan ruh yaitu berarti mengisi jiwa dengan visi tentang Allah dan gelora cinta-Nya.
Dalam bab ini terdapat 3 sub bab yaitu nafs, penyucian nafs dan sifat-sifat nafs. Pada sub bab nafs, dijelaskan nafs secara harfiah yang berarti esensi dan esensi sesuatu disebut jiwa sesuatu atau realitas. Nafs secara terminologi berarti jiwa jasmani atau hawa nafsu. Sub bab yang kedua yaitu penyucian nafs. Pada sub bab ini dijelaskan penyucian nafs yaitu dengan pengekangan diri mutlak dan sama sekali tidak menghindarkan diri dari Allah. Penyucian nafs mustahil dilakukan tanpa mengamalkan pengekangan diri, kerja keras dan kesungguh-sungguhan.
Membersihkan Hati
            Membersihkan hati bermakna menghapus darinya kecintaan pada dunia dan hal-hal duniawi serta menghilangkan darinya segenap kesedihan, kedukaan dan kekhawatiran atas segala sesuatu yang tidak berguna. Hal diatas adalah inti dari pembahasan pada bab 2. Para syaikh tarekat berpandangan bahwa semakin manusia tenggelam dalam berbagai urusan duniawi dan sibuk dengan hal-hal material, maka ia semakin beroleh banyak kesulitan dan bertambah kesal. Maksud dan tujuan Allah mengutus para Rasul kepada umat manusia ialah menjauhkan manusia dari dunia yang fana dan mengantarkannya menuju Realitas Hakiki. Untuk membersihkan hati adalah perlu untuk secara terus menerus dan sadar merenungkan kebenaran-kebenaran di atas. Yang demikian ini bisa membantu melahirkan perubahan dalam sikap mental seseorang. Kalau tidak, ia akan tetap saja, sebagaimana yang dikatakan Al-Qur’an  : “mereka mengetahui yang lahir saja dari kehidupan dunia. Tetapi tentang akhirat mereka tiada peduli.”(QS. 30: 7)
            Terdiri dari sub bab bimbingan syaikh yang didalamnya berisi cara mengajarkan praktik-praktik sufi yang sesuai dengan tempramen dan kecenderungannya. Dengan demikian, secara bertahap dan dengan cara yang mudah. Dan sub bab zikir yang didalamnya berisi makna zikir sebagai metode paling efektif untuk membersihkan hati dan mencapai kehadiran Ilahi. Objek segenap ibadah ialah mengingat Allah dan hanya terus menerus mengingat Allah (dzikr) sajalah yang bisa melahirkan cinta kepada Allah serta mengosongkan hati dari kecintaan dan keterikatan pada dunia fana ini. Yang dimaksud dengan hati yang bersih adalah hati yang di dalamnya tidak ada berbagai perasaan yang mengganggu ketenangan jiwa, dan yang terbebas dari segala sesuatu selain Tuhan, yang bisa mengalihkan perhatian.

Zikir dan Doa
Menurut mujtahid, mkna “mengingat” Allah adalah “apa saja yang tidak bisa dilupakan dalam keadaan bagaimanapun”. Ini sama dengan yad-dasyt atau “terus-menerus mengingat” sebagaimana kaum sufi besar menyebut kebiasaan ini. Melupakan Allah sama artinya dengan melupakan diri sendiri. Ini berarti bahwa berpaling dari mengingat Allah menyebabkan diri dikuasai oleh setan (atau kekuatan-kekuatan bukan Tuhan) yang setiap saat mendorong seseorang serta membisikkan berbagai kejahatan ke dalam hati. Sub bab beberapa zikir penting, berisi tentang beberapa zikir diantaranya salat, membaca Al-Qur’an, melantunkan asmaul husna, mengucapkan tahlil, takbir, syahadat, isti’adzah, dan mendoakan Nabi Muhammad SAW atau durud semuanya termasuk dalam zikir atau mengingat Allah. Dan hadits Nabi Muhammad memberi tahu kita,”Hari kiamat akan terjadi jika Allah,Allah,Allah tidak disebut-sebut lagi di muka bumi”. Bencana tidak akan menimpa seseorang yang yang mengucapkan Allah,Allah,Allah.
Sub bab metode-metode membersihkan hati, berisi tentang metode membersihkan hati yaitu dengan cara ketika berwudhu sambil berniat membersihkan lahir dan bathin, selama melakukan wudhu hendaknya dibaca kalimat syahadat. Kemudian dalam buku ini dianjurkan untuk salat malam yaitu salat tahajjud. Ini bisa mendekatkan diri pada kedekatan Allah dan rahmat-Nya, inilah juga yang menyebabkan dosa-dosa diampuni serta menyelamatkan kita dari berbagai dosa. Buku ini menginstruksikan agar seseorang mempersembahkan ganjaran dan pahala salat malam kepada semua wali, kedua orangtua dan seluruh pengikut Nabi, ia juga mesti memohonkan berkah dari Allah untuk orang-orang yang sudahmeninggal dunia. Bagi dirinya, ia mestilah tidak meminta apapun dari Allah melainkan diri-Nya sendiri.

Berbagai metode zikir : tarekat Qadariyyah dan Naqsyabandiyyah
A.    Tarekat Qadariyyah
Dalam tarekat ini, zikir dilakukan dengan keras (yakni bersuara) tetapi tidak terlalu keras. Zikir utama tarekat ini adalah laa ilaaha illallah. Zikir al-khafi atau zikir diam laa ilaaha illallah bisa dilakukan dengan cara serupa yang ditempuh untuk zikir keras. Metode yang digunakan yaitu dengan memperhatikan tarikan napas. Zikir ini dikenal dengan zikir berupa menjaga pernapasan, dan sangat efektif dalam menghilangkan perasaan munafik dan bisikan-bisikan jahat dan mempunyai aspek-aspek lainnya juga. Zikir al-khafi mempunyai efek-efeknya sendiri yang mencerahkan: ia menyulut api kerinduan pada Allah, membina kecintaan pada Allah dalam hati, melahirkan perenungan serta memungkinkan sang dzakir lebih mengutamakan Allah ketimbang segala sesuatu lainnya.
B.     Tarekat Naqsyabandiyyah
Dalam tarekat ini, diyakini bahwa waktu luang seseorang itu sangatlah berharga dan bernilai serta tidak boleh dibiarkan berlalu sia-sia begitu saja. Yang dilakukan pertama kali adalah seseorang mesti menyingkirkan berbagai macam gangguan dari hatinya, lalu membebaskan hatinya dari segala sesuatu yang menyebabkan timbulnya kebingungan bathin seperti marah, lapar, dll. Dalam zikir laa ilaaha illallah, kondisi paling penting ialah penafian gagasan bahwa tidak ada tuhan yang berhak dan pantas disembah selain Allah. Dalam tarekat ini juga diamalkan zikir laa ilaaha illallah. Zikir lainnya yang dilakukan oleh para sufi dalam tarekat ini disebut zikir al-Masyiy al-Aqdam yakni mengingat Allah sambil berjalan kaki. Kemudian ada juga zikir al-itsbatnal-Mujarrad atau zikir berupa “penegasan saja” yakni zikir nama Allah tanpa penegasan atau penafian. Semakin banyak zikir ini dilakukan maka ia akan semakin bermanfaat.

Berbagai metode zikir tarekat Chisytiyyah
Dalam tarekat chisytiyyah, sebelum syaikh memberikan perintah lebih jauh kepada murid, ia menyuruhnya untuk berpuasa sehari, terutama pada hari kamis. Kemudian syaikh menyuruhnya untuk mengucapkan istighfar dan durud sepuluh kaliserta membaca QS An-Nisa ayat 103. Para syaikh dalam tarekat chisytiyyah menganjurkan metode zikir berikut ini : sang murid mesti duduk dengan lutut terlipat atau duduk bersila dan menghadap kiblat. (ia tidak harus berwudhu terlebih dahulu) ia mesti duduk dengan tegak, menutup kedua matanya dan meletakkan kedua tangannya di atas lututnya dan mengingat Allah. Perlu kiranya diperhatikan 7 macam kondisi yaitu keadaan antara, zat, sifat, perpanjangan, penekanan, bawah dan atas. Yang dimaksud dengan ‘keadaan atara’(barzakh) adalah bentuk kiasan syaikh. Yang dimaksud ‘zat’ adalah dzat wujud mutlak. Yang dimaksud ‘sifat’ adalah 7 sifat utama Allah. Yang dimaksud ‘pemanjangan’ adalah pemanjangan kata laa (manakala dilakukan zikir khafi dan itsbat). Yang dimaksud ‘penekanan’ adalah penekanan yang dikenakan pada kata-kata illallah atau pada kata Allah. ‘dibawah’ menunjukkan bahwa manakala sedang berlangsung zikir nama Allah. Yang dimaksud ‘atas’ adalah bahwa zikir atas nama Allah mestilah dirampungkan dalam otak.
Anggota-anggota tarekat chisytiyyah mengamalkan zikir pas-i-anfas atau zikir menjaga napas sebagai berikut : sang dzakir mengucapkan laa ilaaha dalam napas yang dihembuskan. Dan illallah dalam napas yang dihirup, dengan lidah hati. Artinya penafian dilakukan ketika napas keluar dan penegasan dilakukan ketika napas masuk. Zikir menjaga napas dilakukan dalam hati saja dan tidak dengan lidah jasmani. Sedangkan ulama fiqih menolak kesahihan zikir dalam hati. Akan tetapi, zikir atau mengingat Allah dipertentangkan dengan kelalaian, yang karenanya hanya merupakan sebuah sifat khas hati. Zikir mestilah dilakukan dengan lidah juga hati. Syah Aklimullah menegaskan bahwa ada dua hal yang mesti dicamkan. Yang satu ialah menahan napas dan yang lain ialah menghentikan napas. Ada 2 macam menahan napas: mengosongkan dan mengisi. Yang dimaksud dengan mengosongkan ialah menarik napas dalam lambung dan menarik pusar menuju punggung. Pengalaman para sufi ialah bahwa menahan napas banyak memberikan manfaat. Umpamanya saja, kemunafikan dalam jiwa bisa dihilangkan. Perasaan gembira dan bahkan ekstase bisa dialami.
Satu, zikir khusus yang diamalkan dengan mengucapkan “wahai Engkau yang bersamaku”. Zikir berikutnya disebut zikir al-Kulliyat dengan menggunakan kata-kata : “bersama-Mu segala sesuatu, dari-Mu segala sesuatu, kepada-Mu kembali segala sesuatu, wahai Yang Maha Segalanya”. Zikir khusus ketiga, yakni “Wahai Engkau yang meliputi segala sesuatu, secara lahir maupun bathin”.

Mengosongkan Sirr (Takhalliyyah As-Sirr)
            Untuk mengosongkan sirr, diperlukan ‘kontemplasi’ (muraqabah). Kata muraqabah berasal dari kata raqib yang berartiseorang penjaga, atau seorang pengawal. Menurut para sufi terkemuka, sirr adalah sebuah organ penglihatan mistis, persis seperti hati (qalb) dan ruh adalah tempat cinta Ilahi. Para sufi yang berpandangan bahwa sirr adalah sesuatu atau substansi yang khusus, percaya bahwa sirr adalah fakultas yang lebih tinggi daripada hati dan ruh. Sebagian sufi berpandangan bahwa sirr bermakna konsepsi lembut dan halus yang tersembunyi di relung-relung kedalaman ruh. Seorang arif dengan jelas membedakan antara berbagai fungsi dari lathifah-lathifah atau fakultas-fakultas ini. Katanya, fungsi nafs ialah mengabdi, fungsi hati ialah mencintai, fungsi ruh ialah mencari kedekatan dengan Allah dan fungsi sirr ialah melenyapkan diri dalam pandangan Allah. Muraqabah adalah kesadaran tentang Allah yang senantiasa mengawasi kita di saat kita tenggelam dalam berbagai kesibukan sehari-hari. Kontemplasi batiniah adalah mencegah hati dari memikirkan segala sesuatu apapun, membebaskannya dari segenap pikiran sia-sia, di saat duduk atau berbaring, dalam keramaian atau sendirian, dan menjauhkannya dari memikirkan masa lampau atau masa depan.
a.       Kontemplasi menurut tarekat Qadariyyah
Satu, kontemplasi atas kehadiran Allah, secara diam-diam, sang penempuh jalan spiritual mengucapkan kata-kata,”Allah hadir denganku, Allah melihatku, Allah bersamaku”. Dua, “Allah bersamaku”, yang direnungkan adalah ayat Al-Qur’an berikut ini :’Dia bersamamu dimana saja kamu berada’. Kini ia berpegang teguh pada keyakinan bahwa Allah bersamanya. Tiga, kontemplasi atas ayat Al-Qur’an:’kemanapun kamu menghadap, disana ada wajah Allah (QS Al-Baqarah ayat 115)’. Karena Allah meliputi segala sesuatu, maka Dia hadir dalam segala sesuatu.
b.      Tarekat Chisytiyyah
Satu, kontemplasi berupa Allah hadir, Allah maha melihat dan Allah bersamaku. Sang penempuh jalan spiritual mestilah berpandangan bahwa Allah senantiasa bersama dirinya dan bahwa mustahil Allah berpisah darinya. Dua, kontemplasi kenaikan kaum arif, disini anda mesti memahami bahwa segenap wujud yang bersifat mungkin bagaikan cermin. Dan segenap capaianmereka yang bersifat fisikal maupun spiritual, di dalamnya tak lain hanyalah refleksi dari Nama-nama dan Sifat-sifat Allah. Tiga, kaum sufi dalam tarekat Chisytiyyah merenungkan ayat-ayat Al-Qur’an berikut ini untuk mengosongkan sirr dan mencapai kehadiran abadi bersama Allah, seperti pada QS Qaf ayat 16 yang artinya “Kami lebih dekat kepadanya dari urat lehernya”.

Mengosongkan sirr: kontemplasi dalam tarekat Naqsybandiyyah
Kaum sufi dalam tarekat Naqsybandiyyah mempunyai cara kontemplasi sendiri. Mereka menahan napas di bawah pusar untuk sementara waktu dan kemudian, dengan menggunakan sepenuhnya fakultas-fakultas persepsi, mereka memusatkan perhatian pada makna yang sederhana, abstrak, dan komprehensifdari kata Allah serta kemudian menahannya dalam pikiran mereka selama mungkin, menjaganya dan mempertahankannya. Dalam terminologi mereka menyebutnya dawam al-Hudhur (kehadiran terus menerus Allah). Kaum sufi dalam tarekat Naqsybandiyyah menganjurkan mereka yang tidak mampu berbuat demikian untuk berdoa kepada Allah dan melakukan kontemplasi dengan cara : ‘Ya Tuhanku, Engkaulah tujuan-puncakku. Aku mendekati-Mu, memisahkan diriku dari segala sesuatu selain-Mu’.
a.       Kontemplasi Kaum Sufi dalam Tarekat Naqsybandiyyah Mujahidiyyah
Kontemplasi pertama dala tarekat ini disebut Muraqabah al-Ahadiyyat atau kontemplasi Kesatuan Abstrak. Dalam kontemplasi ini hati menengadah ke langit karena segenap lathifah di ‘alam perintah’ berasal dari tempat di atas arsy atau ‘singgasana Allah’. Karenanya manakala hati menoleh ke sumbernya, maka secara alami ia pun menengadah ke atas. Kontemplasi atas hati, sang penempuh jalan spiritual membayangkan bahwa hatinya diletakkan persis di hadapan hati Nabi Muhammad SAW.
Kontemplasi atas ruh, sang penempuh jalan spiritual membayangkan bahwa ruhnya berada persis di hadapan ruh Nabi Muhammad SAW. Kontemplasi atas sirr, sang penempuh jalan spiritual membayangkan lathifah sirr-nya sendiri berada di hadapan sirr Nabi Muhammad dan berdoa dengan penuh keimanan. Kontemplasi atas khafi, sang penempuh jalan spiritual mestilah merasakan lathifah dari khafi-nya sendiri berada di hadapan khafi Nabi Muhammad. Kontemplasi atas akhfa, sang penempuh jalan spiritual hendaknya membayangkan bahwa lathifah akhfa-nya berada di hadapan akhfa Muhammad.
Sang penempuh jalan spiritual yang mencapai hakikat melalui lathifah ini mengetahui dan menyadari apa yang disebut baqa’ ba’da al-fana’ atau ‘kebakaan sesudah kefanaan’. Ia dikatakan sebagai berada ‘dibawah kaki Muhammad’. Warna lathifah ini adalah hijau.
Pencerahan Ruh : Tajalliyyah ar-Ruh
            Dalam terminologi kaum sufi, istilah ‘tajalliyyah ar-ruh’ atau ‘pencerahan ruh’ berarti mengisi ruh manusia dengan pancaran cahaya kesaksian Allah dan gelora cinta-Nya. Menurut Al-Qur’an, ruh manusia adalah amr atau perintahatau urusan Tuhan, seperti dalam QS al-Isra ayat 85 yang artinya:’mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Jawablah,’ruh adalah perintah atau urusan Tuhanku,...’’. ayat ini bisa ditafsirkan sebagai bermakna bahwa ruh adalah mujarrad atau sebuah ‘entitas abstrak’. Yang dimaksud dengan ‘perintah Tuhanku’ bermakna bahwa ruh termasuk dalam ‘alam al-amr’ atau alam perintah dan ‘haqa’ atau keabadian dan bukan termasuk dalam alam ciptaan serta kemusnahan. Alam perintah adalah juga alam gaib dan sekaligus alam akhirat.
            Kaum sufi menyebut ruh sebagai ruh dan jiwa sebagai nafs. Menurut kasyi, ruh dalam terminologi kaum sufi adalah sebuah lathifah dalam diri manusia dan sebuah entitas abstrak. Dalam terminologi para filosof, ia adalah hembusan yang baik dalam hati. Imam al-Ghazali mengatakan bahwa tubuh manusia itu laksana lampu, hati manusia seperti sumbu, jiwa hewani bagaikan api dan ruh manusia seperti cahaya. Satu-satunya perbedaan adalah bahwa cahaya lampu bergantung pada api, tetapi ruh manusia tidak bergantung pada jiwa hewani. Ruh manusia adalah sesuatu yang hakiki dan jiwa hewani bergantung padanya. Ia laksana lampu yang dinyalakan dari cahaya-cahaya alam gaib. Hati adalah wadah anugerah Allah dan substansi spiritual. Substansi spiritual ini adalah esensi manusia.
            Dengan demikian, ruh bisa dipahami sebagai satu, jika ditilik dari satu sudut pandang, dan banyak jika ditilik dari sudut pandang lainnya. Itulah sebabnya dikatakan bahwa tak ada seorangpun bisa mengetahui hakikat ruh. Menurut sebagian dari kaum sufi, mustahil menyucikan jiwa tanpa mencerahi ruh terlebih dahulu. Akan tetapi, sebagian lagi berpendapat bahwa hal ini bisa dilakukan dengan menyucikan hati terlebih dahulu. Sebagian besar kaum sufi sepakat bahwa metode paling baik ialah bahwa nafsu yang menyuruh kepada kejahatan harus ditundukkan terlebih dahulu dan dikendalikan di bawah berbagai larangan dalam syari’ah. Seseorang mestilah menyucikan hati dan sekaligus mencerahi ruh pada saat yang bersamaan. Untuk pencerahan ruh, setiap hubungan yang dijalin oleh ruh, sesudah masuk ke dalam tubuh, dengan dunia ini melalui indera persepsi dan pengetahuan, haruslah diputuskan secara berangsur-angsur sebab segenap hubungan dan keterikatan dengan dunia inilah yang menciptakan hijab atau tirai dan menjauhkan ruh dari Allah.  

BAB III : GAGASAN UTAMA PENULIS
Membersihkan hati
            “Membersihkan hati” bermakna menghapus darinya kecintaan pada dunia dan hal-hal duniawi serta menghilangkan darinya segenap kesedihan, kedukaan, dan kekhawatiran atas segala sesuatu yang tidak berguna. Kata “hati” (qalb) mempunyai dua makna : dalam satu arti, ini adalah nama segumpal daging berbentuk kerucut yang terletak di sebelah kriri dada dan berongga di dalamnya, mengandung darah serta dianggap sebagai sumber ruh. Kita tidak membahas hati yang bersifat fisikal disini. Hati yang kita bicarakan disini adalah wadah untuk menerima rahmat Allah. Substansinya bersifat spiritual. Substansi spiritual ini adalah esensi manusia. Substansi ini sajalah yang mempunyai persepsi, pengetahuan dan gnosis atau ma’rifah. Inilah hati yang diperingatkan, dicela dan dihukum. Hati spiritual ini dengan segumpal daging berbentuk kerucut tadi memiliki hubungan yang sama sebagaimana hubungan aksiden dengan tubuh. Karena suatu sifat berkaitan dengan substansi yang disifati, maka objek yang menempati ruang mempunyai hubungan dengan ruang yang ditempatinya, dan sebuah alat dengan manusia yang menggunakannya. Hati inilah yang disebut-sebut sebagai Arsy Allah dan hati inilah yang harus bersih : “dibersihkan” dalam perjalanan spiritual.
            Para syaikh dalam berbagai tarekat berpandangan bahwa semakin manusia tenggelam dalam berbagai urusan duniawi dan sibuk dengan hal-hal material, maka ia semakin beroleh banyak kesulitan dan bertambah kesal. Semakin ia menyibukkan diri dengan memanjakan badannya dan terus menerus kelewat memperhatikan penampilannya, maka keadaan mentalnya bakal semakin memburuk, kemampuan spiritualnya memudar, kesucian dan kecemerlangan hatinya kehilangan semangat, noda dan kegelapan pun makin bertambah. Inilah sebabnya pengekangan diri dan hidup zuhud menjadi syarat-syarat yang mesti dipenuhi dalam “kemajuan spiritual” (suluk). Dan menjauhkan diri dari segala sesuatu selain Allah adalah salah satu dasar di jalan sufi menuju Allah.
            Nabi Muhammad merasa heran dengan orang yang beriman kepada rumah keabadian (yakni keluhuran spiritual) namun berusaha demi rumah ketertipuan (yakni dunia inderawi dan jasmani): “Sungguh mengherankan kalau seseorang mestinya menjamin untuk rumah keabadian namun tetap berusaha dan bersusah payah mencari untuk rumah ketertipuan. Membersihkan hati mustahil dilakukan kecuali bila cinta dan keterikatan pada dunia dihilangkan darinya. Dunia itu sendiri tidaklah tercela, sebab dunia adalah “tempat bercocok tanam atau ladang akhirat” dan sarana untuk mencapainya. Akan tetapi, cinta pada dunia dan keterikatan kepadanya adalah sebuah rintangan. Inilah makna ucapan Nabi, “Cinta dunia adalah pangkal dari kesalahan dan dosa”.
Bimbingan Syaikh
            Syaikh-syaikh sufi biasa membimbing dan mendidik murid dalam cara yang konsisten dengan kapasitas dan psikologinya. Mereka tidak segera menariknya dari keadaan yang ada pada dirinya, tidak pula mereka meminta sang murid mengerjakan berbagai latihan ruhani. Mereka mengajarkan kepadanya praktik-praktik sufi yang sesuai dengan tempramen dan kecenderungannya. Dengan demikian, secara bertahap dan dengan cara yang mudah, mereka mengantarkan sang murid menggapai tujuannya. Imam tarekat syadziliyah, Syaikh Abu al-Hasan asy-Syadzili, mengatakan,”Orang yang membimbingmu dalam dalam cara yang konsisten dengan kesenangan atau psikologimu sesungguhnya adalah seorang Syaikh sejati.” Ucapan ini sesuai dengan sabda Nabi,”Agama itu mudah” atau “Bersikaplah lemah-lembut, dan jangan bersikap keras serta kasar.” Tak dipungkiri lagi, pembimbing spiritual adalah orang yang dianugerahi kekuatan spiritual dan mukjizati yang bisa menghancurkan berbagai belenggu diri sendiri melalui kekuatan kemauan dan kehendaknya serta melahirkan perubahan dalam diri sang murid yang telah memandang realitas sebagai “permainan dan senda gurau”, sampai mengetahui bahwa : “Tidak ada tempat lari dari Allah dan tidak ada tempat berlindung kecuali kepada-Nya semata”.(QS.9:118)
Zikir
Manusia yang diberkahi dengan pengetahuan batin memandang dzikr,”senantiasa dan terus menerus mengingat” Allah, sebagai metode paling efektif untuk membersihkan hati dan mencapai kehadiran Ilahi. Objek segenap ibadah ialah mengingat Allah dan hanya terus menerus mengingat Allah (dzikr) sajalah yang bisa melahirkan cinta kepada Allah serta mengosongkan hati dari kecintaan dan keterikatan pada dunia fana ini. Ajaran islam paling dasar dan paling penting tersirat dalam syahadat atau “pengakuan keimanan”, laa ilaaha illa Allah, yang berarti tada Tuhan selain Allah atau tidak ada objek yang layak dan pantas disembah kecuali Allah”. Dan ini tak lain dan tak bukan ialah terus menerus mengingat Allah. Ruh doa ialah mengingat Allah. Tujuan puasa ialah menghancurkan sensualitas, sebab jika hati dibersihkan dari kotorannya, maka ia akan dipenuhi dengan mengingat Allah. Jadi, dengan dzikr, hati pun dipenuhi cinta pada Allah sedemikian banyak sehingga tidak ada lagi tempat bagi yang lainnya. Sang murid, sesudah menerima instruksi tentang dzikr dari syaikh-nya, mestilah menyibukkan diri seacara penuh dengannya (setelah menunaikan salat wajib). Ia harus tidak mengerjakan salat sunnat, tetapi mesti membatasi diri dengan dzikr saja, sepanjang siang dan malam hari, dan pada setiap tarikan napas dengan memandang segala sesuatu lainnya sebagai petaka dan bencana.  

BAB IV : PENDESKRIPSIAN BUKU
Buku “zikir dan kontemplasi dalam tasawuf” ini memberikan banyak manfaat yaitu dengan buku ini saya menjadi lebih banyak tahu praktek ibadah-ibadah yang baru diantaranya seperti zikir dan doa-doa setelah salat dan ibadah sunnah lainnya.
Dr. Mir Valiuddin, penulis buku ini, sangat terampil dalam mengemas kata-kata dan bahasa-bahasa untuk buku ini menjadi barang yang bermanfaat. Tentu saja, buku ini diperuntukkan kepada orang yang sudah dewasa serta memahami Islam dan memahami bahasa Indonesia yang baik dan benar. Akan tetapi, saya sendiri tidak memahami seluruh dari isi buku ini. Ini dikarenakan penggunaan bahasa kiasan dan bahasa-bahasa majas yang mungkin sebelumnya belum pernah saya pelajari. Inilah yang menyebabkan saya agak kesulitan dalam membuat laporan buku ini.
Menurut saya, buku ini memiliki cover yang kurang menarik. Karena yang ditonjolkan pada cover buku ini adalah judulnya bukan penggambaran dari isi buku. Gambar dari cover buku ini adalah seorang laki-laki memakai baju muslim yang sedang mengikuti khutbah jum’at (ini menurut saya). Memang, bagi orang sufi atau tokoh agama, cover tidaklah penting, tetapi isi dari buku yang lebih penting. Akan tetapi, menurut saya yang masih termasuk orang awam, cover buku ini kurang menarik.
Untuk masalah kertas, saya kira setiap buku baik novel ataupun buku pengetahuan memiliki karakteristik yang sama yaitu tidak terlalu tipis dan tidak terlalu tebal. Buku ini  memiliki tebal yang sedang yakni 300 halaman. Ini cocok dan pas untuk dibaca bagi pembaca pemula karena jumlah halamannya tidak terlalu tebal seperti misalnya buku ensiklopedia yang memiliki ketebalan yang tebal.
BAB V : PENUTUP
A.    Kesimpulan
     Manusia yang diberkahi dengan pengetahuan batin memandang dzikr,”senantiasa dan terus menerus mengingat” Allah, sebagai metode paling efektif untuk membersihkan hati dan mencapai kehadiran Ilahi. Objek segenap ibadah ialah mengingat Allah dan hanya terus menerus mengingat Allah (dzikr) sajalah yang bisa melahirkan cinta kepada Allah serta mengosongkan hati dari kecintaan dan keterikatan pada dunia fana ini. Ajaran islam paling dasar dan paling penting tersirat dalam syahadat atau “pengakuan keimanan”, laa ilaaha illa Allah, yang berarti tada Tuhan selain Allah atau tidak ada objek yang layak dan pantas disembah kecuali Allah”. Dan ini tak lain dan tak bukan ialah terus menerus mengingat Allah. Ruh doa ialah mengingat Allah.
B.     Saran

Demikian laporan buku yang telah saya buat. Semoga bermanfaat bagi pembaca. Kepada penulis buku ini terimakasih atas ilmu yang telah diberikan melalui buku ini. Dan saya berharap untuk penulis buku ini untuk terus berkarya. Namun, buatlah karya yang tidak hanya untuk kalangan berbahasa tinggi, buatlah karya untuk kalangan awam agar orang awam juga mengerti maksud dari penulis buku ini. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar